Pembelajaranku saat ini menjelaskan anjuran yang baik yaitu tentang perintah televisi mati pada jam belajar, televisi, nonton tv online, siaran tv, waspada online, waspada, terhadapat keamanan diri.
Televisi Mati pada Jam Belajar dan Waspada Terhadap Keamanan Diri
Televisi Mati pada Jam Belajar
Akhir Agustus diberitakan bahwa pemerintah kota Solo mewajibkan setiap rumah yang memiliki anak usia sekolah mematikan TV pada jam belajar (pukul 18.30-20.30). Tujuannya agar TV tidak mengganggu anak yang belajar.
Untuk memantau pelaksanaan kebijakan ini, pemerintah menerjunkan tim yang memonitor tiap rumah. Rumah-rumah warga didatangi setiap jam belajar. Kebijakan ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Kebijakan ini sudah dicanangkan sejak empat tahun lalu. Namun pemantauannya baru dilaksanakan.
Jika tim pemantau menemukan pesawat TV menyala, warga diingatkan untuk mematikan TV-nya. Peraturan ini tidak hanya berlaku pada rumah tangga biasa tetapi juga berlaku di tempat umum. Ada lima tim yang bertugas, masing-masing memantau lima kelurahan setiap malam. Dari tiap kelurahan akan dipilih rumahrumah secara acak.
Larangan ini lahir dalam konteks untuk memberikan kesempatan yang lebih baik bagi anak untuk belajar, sehingga prestasi sekolahnya meningkat. Karena itulah larangan ini pun ada “libur”nya, yakni pada Sabtu malam.
Tujuannya adalah agar anak belajar tanpa gangguan, maka selain mengharuskan mematikan pesawat TV, pemerintah pun meminta anak usia sekolah tidak keluar dari rumah pada jam belajar tersebut.
Walaupun tujuan dari kebijakan ini adalah agar anak menggunakan waktu belajarnya dengan baik, ada manfaat besar sekali yang menempel pada kebijakan ini, yakni anak bisa lumayan terkurangi waktunya untuk “terkontaminasi” acara TV.
Waktu yang disebut jam belajar itu adalah saat premetime, yaitu jam utama tayang TV. Primetime adalah saat TV menampilkan acara yang digemari penonton.
TV pun paling banyak ditonton pada jam-jam tersebut, karena saat itu banyak orang sudah selesai beraktivitas dan ingin beristirahat di rumah. Banyak orang menjadikan TV sebagai “sahabat” di kala istirahat.
Pada saat primetime, umumnya TV menampilkan sinetron. Ini adalah jenis acara yang disebut memiliki reting tertinggi, artinya paling banyak ditonton orang. Tayangan-tayangan ini tidak berisi muatan yang sehat, karena berisi percintaan remaja yang cukup berlebihan dan sinetron anak berisi kata-kata kasar dan muatan gaib.
Banyak keluarga yan menghidupkan pesawat TV pada saat primetime dengan berbagai alasan, misalnya : rumah sepi kalau tak ada yang bunyi TV, ada sinetron bagus yang mau ditonton sang kakak atau ibu, ada sinetron anak, dan sebagainya. Akibatnya, tentu saja banyak anak yang ikut menonton TV.
Dengan menonton pada saat primetime, ditambah dengan menonton pada pagi hari sebelum sekolah atau siang dan sore hari sesudah pulang sekolah, anak potensial untuk menonton TV lebih dari 2 jam sehari (data akhir menunjukkan bahwa anak-anak kita menonton rata-rata 5 jam sehari).
Padahal, waktu maksimal yang diijinkan para ahli bagi anak menonton TV hanya 2 jam sehari.
Dengan demikian, kebijakan “puasa TV” selama primetime seperti yang dilaksanakan di Solo adalah kebijakan yang berdampak sangat positif bagi anak. Mau tidak mau anak menjadi tidak menonton TV dan ini bagus mengingat tayangan TV banyak yang tidak sehat bagi anak.
Jika jam-jam ini tidak digunakan untuk belajar (misalnya anak tidak ada PR atau ulangan, atau sudah belajar pada jam lain), pesawat TV yang mati membuat keluarga dapat beralih ke kegiatan lain yang positif.
Misalnya, anak-anak bermain atau keluarga membaca atau mengobrol. Ini aktivitas yang biasanya tak banyak dilakukan karena terganggu TV.
Dalam kondisi demikian, adanya peraturan pemerintah setempat ini menjadi sangat membantu. Kabar yang menggembirakan, Solo tidaklah sendirian sebagai daerah yang punya aturan semacam ini.
Kebijakan semacam ini telah berjalan di Kaliurang, Yogyakarta. Teman saya memberitahukan bahwa ada dua desa di wilayah ini yang telah bertahun-tahun menerapkan peraturan “TV mati pukul 6 – 8 malam”.
Pada waktu itu, para orang dewasa keluar rumah, saling mengobrol atau mendengarkan radio, sementara anak-anak belajar. Warga desa justru merasa malu untuk menyalakan TV pada jam tersebut.
Kegiatan membatasi menonton TV ini juga saya dengar berlangsung di sejumlah daerah, seperti Ambon, NTB, dan Makasar. Setahu saya, kegiatan ini diprakarsai oleh LSM atau warga. Sebagian ada yang didukung oleh Komisi Penyiaran Indonesia Daerah setempat. Tujuan dari kegiatan ini adalah mendorong masyarakat agar menggunakan pesawat TV dengan bijak.
Kegiatan di Solo, Kaliurang, dan daerah lainya dapat menjadikan inspirasi bagi kita untuk melakukan kegiatan yang sama. Kita bisa melakukan pada keluarga sendiri, dan syukur-syukur meluas ke lingkungan yang lebih luas. Bentuknya bisa atas inisiatif warga atau pemerintah turun tangan.
Mudah-mudahan ini dapat terlaksana untuk terciptanya “wajah” Indonesia yang makin baik di masa depan, karena dengan mematikan pesawat TV anak tidak teracuni tayangan buruk sekaligus ia punya kesempatan belajar lebih banyak.
Waspada Terhadap Keamanan Diri
Banyak peristiwa kejahatan terhadap anak yang membuat orang tua resah, terutama penculikan terhadap anak. Berdasarkan peristiwa tersebut, anak-anak harus waspada terhadap penculikan anak.
Kasus penculikan anak itu bermacammacam alasannya. Seperti dendam, untuk dijual, atau minta tebusan. Untuk menghindarkan diri dari peristiwa penculikan, maka ada beberapa hal yang perlu kamu mengerti, yaitu:
1. Waspada terhadap orang asing (belum dikenal).
Lalu, siapa yang dimaksud orang asing itu? Orang asing adalah orang di luar keluarga sedarah dengan ayah, ibu, kakak, adik, kakek, atau nenek. Apabila kamu berada di suatu tempat, ditawari bantuan tumpangan kendaraan, makanan, minuman atau mengajak pergi jalanjalan, maka kamu harus waspada.
Apabila kamu di luar rumah mengalami kesulitan seperti tersesat, mintalah pertolongan kepada orang yang dapat kamu percaya, misalnya guru, kepala sekolah, polisi, atau satpam yang berpakaian seragam. Meskipun mereka orang asing namun patut dipercayai. Hati-hatilah menjaga diri!
2. Belajar untuk berperilaku baik dengan orang lain.
Kenali identitas diri seperti nama, usia, nama orang tua, alamat, dan nomor teleponmu. Usahakan hafal benar mengenai hal-hal tersebut.
Bila di tempat umum, usahakan berani bertanya kepada orang yang berseragam, seperti polisi atau satpam. Bila suatu ketika berpisah dengan orang tua, saudara, sahabat. Apabila menghadapi suatu bahaya berusahalah minta pertolongan dengan cara berteriak agar orang lain dapat mengetahui dan bisa menolong.
3. Percaya diri tidak penakut (pemberani)
Setiap anak harus ditanamkan rasa keberanian untuk bertindak saat mengalami suatu masalah yang membahayakan keamanan diri, misalkan dengan cara berteriak. Kewaspadaan perlu dipelajari, karena kewaspadaan adalah bentuk latihan menanamkan kepercayaan diri, bukan memupuk rasa ketakutan.
Anak yang memiliki sifat penakut justru akan membahayakan diri sendiri karena tidak mampu mengenali perasaan apabila bertindak pada waktu membutuhkan pertolongan. Sebaliknya anak yang percaya diri adalah anak yang mampu mengekspresikan kepercayaannya dan memiliki rasa pengenalan terhadap bahaya dan mampu bertindak saat membutuhkan pertolongan. Waspadalahwaspadalah![Sumber: UMMI]
Comments
Post a Comment