Sudahkah Kotamu, Smartcity, smartcities, samrt city, smar city, intelligent cities, smat city
Smartcity secara bahasa berarti Kota cerdas. Saat kita mengatakan suatu kota adalah kota yang cerdas, sebenarnya adalah sebuah majas personifikasi yaitu yang mengumpakan kota seperti manusia seakan kota dapat merasakan, berpikir dan bertindak terhadap kondisi internal dan eksternal dari kota tersebut.
Di Jakarta, meski baru menyusul belakangan, ada juga kampanye serupa, yaitu “Jakarta Smart City”. Kampanye ini dimulai pada Senin (15/12/2014). Meski belum sementereng Seoul, Jakarta sudah pula dipadati aktivitas warga dalam jejaring dunia maya.
Sudahkah Kotamu "Smartcity" ?
A. Korea Selatan Contoh Smartcity
Smartcity secara bahasa berarti Kota cerdas. Saat kita mengatakan suatu kota adalah kota yang cerdas, sebenarnya adalah sebuah majas personifikasi yaitu yang mengumpakan kota seperti manusia seakan kota dapat merasakan, berpikir dan bertindak terhadap kondisi internal dan eksternal dari kota tersebut.
Para orangtua di Seoul, Korea Selatan, tak perlu repot lagi mengawasi kinerja akademik anaknya. Lewat aplikasi web School Newsletter, mereka bisa mendapatkan semua informasi akademik. Segala informasi sudah tertera dalam aplikasi tersebut, baik terkait perubahan jadwal pelajaran, nilai ujian, maupun kegiatan akademik lain sang anak.
Pada era Internet of Things (IoT)—semua perangkat terhubung internet—seperti sekarang, peranti teknologi informasi dalam jaringan memang sudah menjadi nadi kehidupan masyarakat Seoul. Tak hanya gadget yang bertebaran di seantero kota, urusan keamanan warga Seoul pun terhubung ke sistem online yang dikembangkan pemerintah.
Sistem itu, u-seoul, memantau aktivitas keseharian masyarakat, termasuk pemakaian kamera pengawas (CCTV). Bila ada bahaya mengancam warga, u-seoul langsung mengirimkan pesan tanda bahaya ke pihak terkait. Penggunaan masif teknologi di Seoul menempatkan Ibu Kota Korea Selatan ini sebagai dua besar kota tercanggih di dunia, merujuk studi atas 30 kota terkemuka dari Price Waterhouse Coopers (PWC). Sebelumnya, mulai Juni 2011, Pemerintah Kota Seoul telah menggalakkan kampanye “Smart Seoul 2015”.
B. Jakarta menjadi Smartcity
Di Jakarta, meski baru menyusul belakangan, ada juga kampanye serupa, yaitu “Jakarta Smart City”. Kampanye ini dimulai pada Senin (15/12/2014). Meski belum sementereng Seoul, Jakarta sudah pula dipadati aktivitas warga dalam jejaring dunia maya.
Industri e-commerce marak bermunculan di sini, disusul pula dengan kehadiran beragam layanan transportasi berbasis aplikasi. Pemerintah DKI Jakarta pun telah meluncurkan dua aplikasi berbasis Android untuk pelayanan publik. Seperti dikutip Kompas.com pada Selasa (16/12/2014), dua aplikasi itu adalah Qlue dan Cepat Respons Opini Publik (CROP). Qlue menjadi sarana bagi warga Ibu Kota untuk melaporkan beragam kejadian mulai dari macet, banjir, jalan rusak, penumpukan sampah, hingga ketersediaan kamar rumah sakit.
"Ide (Qlue) ini kami berharap ke depannya bisa jadi (proyek percontohan) nasional," ujar Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, seperti dikutip Kompas.com pada Kamis (22/10/2015).
Aduan dan masukan warga Jakarta itu kemudian dipetakan secara digital dan terintegrasi dengan situs smartcity.jakarta.go.id dan CROP. Sebagai pengolah data dari aduan dan informasi masyarakat, aplikasi CROP hanya bisa diakses oleh aparat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan kepolisian.
Seoul dan Jakarta adalah contoh bahwa IoT bukan lagi wacana dan teori. Terlebih lagi, analisis dari Gartner memperkirakan pada 2020 akan ada lebih dari 26 miliar perangkat terhubung melalui media internet.
C. Tantangan di Smartcity
Geliat laju Internet of Things (IoT) Kota Seoul berjalan suksesberkat dukungan penuh infrastruktur internet. Seoul adalah kota dengan penetrasi pemasangan fiber optik—kabel dengan kecepatan tinggi transfer data—terbesar di dunia.
Dilansir situs web ubmfuturecities.com, Seoul masih menjadi pemilik koneksi internet tercepat di dunia, yaitu melaju 41,4 Mbps.
Adapun Jakarta, akses internetnya adalah yang paling cepat di Indonesia. Berdasarkan data Open Signal, rata-rata kecepatan internet di Ibu Kota ada di kisaran 6,9 Mbps sampai 7 Mbps.
"Kecepatan internet di Bangkok hanya 2,33 Mbps, New Delhi 1,89 Mbps, Kuala Lumpur 5,87 Mbps, ada di bawah kita," ujar Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, pada Kompas.com, Jumat (18/3/2016).
Namun, kecepatan tinggi saja tak akan memadai untuk mewujudkan “kota pintar” yang segala hal di wilayah itu terhubung dengan jejaring internet. Kepastian akses juga menjadi kuncinya. Karena itu, kehadiran server yang bisa bekerja real time selama 24 jam per hari menjadi tak terhindarkan.
Jangankan layanan publik, aplikasi e-commerce atau transportasi online pun tak akan dilirik pelanggan bila lemot apalagi susah diakses. Tidak akan pernah menarik juga ketika situs web e-commerce terus-menerus gagal transaksi karena server-nya sering bermasalah dan membuat proses jual beli terhenti.
Ketersediaan server berteknologi tinggi juga akan punya tantangan besar, bila tak mendapat jaminan pasokan listrik. Di balik semua penerapan teori Internet of Things, kinerja server yang disokong kepastian pasokan listrik merupakan duet kunci.
Bagi kota atau kawasan yang menerapkan konsep “pintar”, gangguan server karena terputusnya aliran listrik dari jaringan utama akan menjadi malapetaka. Belum lagi, terputusnya aliran listrik juga dapat merusak beragam hardware dalam sistem yang terhubung denganserver dan jaringan internet.
Kerusakan bisa menimpa mulai dari “dalaman” komputer atau laptop yang dipakai mengakses jaringan hingga ke data yang tersimpan di peranti itu dan data center.
D. Peranti yang tepat untuk Smartcity
Pada era IoT, ada lonjakan penggunaan data dalam jumlah besar sehingga butuh peningkatan kapasitas penyimpanan. Server yang dipakai pada era seperti ini sebaiknya juga mampu mengantisipasi dan siap menghadapi aneka rupa gangguan, terutama mencegah terjadinya kegagalan sistem dan memastikan keamanan data. Sebaiknya, peranti itu pun punya mekanisme mengantisipasi kerusakan, bahkan dari risiko kebakaran.
Selain butuh dukungan hardware canggih, server juga memerlukan topangan software—perangkat lunak—yang teruji untuk dapat berfungsi baik. Operasionalisasi server ini pun harus berbasis otomatisasi, termasuk saat menghadapi gangguan arus listrik dari jaringan utama.
Kapasitas penyimpanan server tak boleh luput pula sebagai pertimbangan, demi mengoptimalkan fungsinya pada era IoT. Selain itu, periksa pula kompatibilitas dan daya tahan baterai untuk memastikan sistem tak terhenti selama peralihan pasokan listrik dari jaringan utama ke uninteruptable power supply (UPS) penunjang server.
Untuk aktivitas dan bisnis yang skalanya di lingkup wilayah tertentu, ada produk micro-data center (MDC) yang dirancang untuk mendukung edge computing. Smartbunker FX dari Schneider Electric adalah salah satunya. Adapun bagi usaha yang berskala luas dengan kompleksitas tinggi dan data berukuran besar, misalnya di smart city, ada juga MDC smartshelter multi-rack dari Schneider Electric.
Comments
Post a Comment