Contoh, Menerapkan Prinsip Prinsip Penulisan
Esai dalam Karya Sastra
Esai adalah karangan atau tulisan yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi penulisnya. Pada prinsipnya, kegiatan menulis esai novel tidak dapat terlepas dari kegiatan apresiasi sastra pada umumnya. Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa menulis esai merupakan salah satu bentuk kegiatan apresiasi sastra. Pada pelajaran kali ini, kamu akan mempelajari materi tentang penerapan prinsip-prinsip penulisan esai pada cerita pendek.
Menulis esai sastra bertujuan untuk mengungkapkan pengalaman subjektif kamu sebagai pembaca, tanpa bermaksud secara langsung membantu orang lain dalam menikmati karya sastra. Umumnya, esai sebuah sastra ditulis setelah penulis esai selesai membaca sebuah cerpen. Dengan demikian, kegiatan membaca merupakan kegiatan yang mutlak dilakukan, bahkan bisa juga dilakukan berulang-ulang.
Esai yang ditulis pada intinya berisi ulasan yang bersifat umum untuk menyampaikan atau melaporkan pemahaman dan tanggapan kita terhadap cerpen yang telah dibaca.
Menurut Widyamartaya (2004:99) terdapat tiga hal pokok yang perlu dilakukan dalam membuat esai. Pertama, menyarikan tema karya sastra yang diulas.
Kedua, membuktikan tema yang diulas dengan paparan yang ada dalam karya sastra.
Ketiga, membahas secara ringkas beberapa unsur yang ada dalam karya sastra tersebut.
Selanjutnya, sebagai pedoman Widyamartaya (2004:99) mengemukakan pola yang diberi nama SKIB (sari, kutip, interpretasi, bentuk). Pola tersebut dirinci sebagai berikut.
- Sari, yakni membuat intisari ulasan.
- Kutip, yakni membuktikan intisari ulasan dengan kutipan dari karya yang dibahas.
- Interpretasi, menguraikan bagaimana intisari (tema) yang disebut pada bagian awal (no. 1) dikembangkan dalam karya.
- Bentuk, yaitu membahas aspek bentuk dari karya yang dibahas.
Berdasarkan pola SKIB tersebut, tulisan esai dapat dideskripsikan sebagai berikut.
Paragraf 1
(1) Menyarikan tema. Sari didasarkan atas satu ide yang dominan dan dirumuskan dalam suatu pernyataan.
(2) Memberikan penjelasan sekadarnya tentang sari karangan.
(2) Memberikan penjelasan sekadarnya tentang sari karangan.
Paragraf 2
3) Memberikan fokus khusus sebagai aspek penting (lead-in) interpretasi. Aspek penting tersebut untuk menjawab pertanyaan siapa/apa, di mana, bilamana, apa yang diperbuat, dan bagaimana.
Paragraf 3, 4, dan seterusnya (secukupnya)
4) Menginterpretasikan tema yang disarikan/disimpulkan di atas, menunjukkan bagaimana tema itu dikembangkan dengan buktibukti berupa kutipan-kutipan.
5) Membicarakan segi-segi bentuk yang memperkuat tema. Bagaimana alurnya? Bagaimana tokohnya? Bagaimana latarnya? Gaya bahasanya. Hanya unsur-unsur bentuk yang dominan (mencolok) saja yang perlu dibicarakan dalam esai.
Paragraf terakhir
6) menyimpulkan kembali tema karya sastra dan menutup ulasan.
Memilih pada akhirnya menjadi tugas utama seorang manusia dalam hidupnya. Sekali manusia telah menjatuhkan pilihannya, pilihan itu mesti dipertahankan dan diperjuangkan apapun risikonya. Dengan demikian, hidup menjadi bermakna, betapapun bentuknya. Walaupun pada akhirnya berakibat tragis, Bawuk sebagai seorang manusia (tokoh) telah melakukan hal tersebut dengan sempurna. Begitulah makna yang tertangkap seusai membaca Bawuk sebuah novelet (cerpen yang panjang) karya Umar Kayam (dalam Ajip Rosidi. 1977. Laut Biru Langit Biru. Jakarta: Pustaka Jaya).
Bawuk adalah anak bungsu dari lima bersaudara keluarga Tuan dan Nyonya Suryo, Onder Karangrandu yang mendambakan semua anaknya menjadi priyayi, suatu kedudukan yang sangat terpandang di masyarakat. Sudah sejak masa kanak-kanak Bawuk mempunyai sikap dan tindakan yang berbeda dengan kakak-kakaknya, walaupun kecerdasan Bawuk tidak boleh kalah dengan kecerdasan kakak-kakaknya. Bawuk mempunyai sikap yang bohemian, manja, periang, pemurah, mempunyai kata-kata yang bijak, dan suka bergaul dengan siapa saja, temasuk dengan Bediende, dengan anak-anak desa.
Sikap dan tindakannya itu kadang-kadang tidak disetujui oleh ayahnya, yang ingin tetap menjaga gengsinya sebagai seorang priyayi. Akan tetapi, dengan caranya yang khas Bawuk selalu berhasil meyakinkan orang tuanya bahwa yang dikerjakannya itu tidak apa-apa. Jika kakak-kakaknya akhirnya berhasil memenuhi harapan orang tuanya menjadi priyayi: Yu Mi menjadi istri seorang Brigjen, Yu Sul mendapat seorang priyayi agung sipil, Mas Mamok dan Mas Tarto berhasil menjadi orangorang yang bertitel akademis, tidak demikian halnya dengan Bawuk.
Ia hanya kawin dengan seorang yang SMA pun tidak tamat, Hassan, seseorang yang memimpikan bahwa tanpa satu ijasah, tanpa suatu kedudukan resmi, orang pun bisa terpandang di masyarakat. Tidak ada seorang pun dari keluarganya yang menghalangi waktu Bawuk memilih Hassan sebagai bakal jodohnya.
Pilihan yang telah dilakukan Bawuk membawa akibat yang cukup tragis pada kehidupannya sebab Hassan adalah seorang pemimpin Komunis. Walaupun telah bertahun-tahun Bawuk menjadi istri Hassan, ia tidak pernah secara resmi menjadi angota Gerwani. Akan tetapi, bagaimanapun mereka akhirnya menjadi buronan. Dua orang anaknya, Wowok dan Ninuk, akhirnya dititipkan kepada ibunya, Nyonya Suryo, oleh Bawuk.
Dia sendiri, walaupun tidak dikehendaki oleh kakak-kakaknya bahkan akan diusahakan perlindungannya, tetap mencari Hassan dalam persembunyiannya. Hal itu dilakukan bukan demi mencari Hassan sebagai seorang komunis, melainkan demi Hassan sebagai suaminya. Dia menolak untuk menunggu Hassan di rumah ibunya, walaupun pada akhirnya Hassan mati terbunuh.
Sesungguhnya, makna yang termuat dalam novelet ini menjadi sangat menonjol karena struktur alurnya, di samping karena faktor lain seperti penokohan. Novelet ini dibagi menjadi tiga bagian yang ditandai dengan angka Romawi I, II dan III.
Bagian I sebagai awal novelet, dimulai dengan peristiwa keterkejutan Nyonya Suryo menerima surat dari Bawuk. Keterkejutan itu disebabkan oleh pendeknya surat, yang hanya terdiri dari tiga kalimat pendek-pendek dan sederhana susunanya: “Akan datang Sabtu malam ini. Wowok dan Ninuk saya bawa. Sudilah Ibu selanjutnya menjaga mereka. Bawuk”. Hal itu sangat berlainan dengan kebiasaan Bawuk berkirim surat, yang biasanya suka berpanjang-panjang.
Peristiwa itu membuat Nyonya Suryo terseret dalam suatu lamunan yang sangat panjang masuk ke dalam masa lampau. Nyonya Suryo teringat masa mudanya, sewaktu anak-anaknya masih kecil, sekolah dengan naik dokar dari Karangrandu ke M. Teringat pula ia bagaimana perilaku Bawuk kecil, bagaimana perangai suaminya yang senantiasa jaga gengsi, suaminya bertayuban di pendopo kabupaten, bagaimana perhatian Bawuk kepadanya tatkala ia merasa pusing kepala, dst. dst. Akhirnya Nyonya Suryo tersadar: “Nyonya Suryo melipat-lipat surat bawuk yang pendek itu. Kenapakah pada senja itu, pada waktu dia mencoba mengenang anaknya yang bungsu itu justru masa kanak-kanaknya yang paling jelas terkenang?”.
Kesadarannya kembali itu menjadikan Nyonya Suryo mengambil keputusan untuk mengumpulkan anak-anak dan menantunya guna menyambut kedatangan Bawuk dan dua orang anaknya. Walaupun pada mulanya ia bimbang karena kekurangmesraan hubungan Hassan dengan kakak-kakak iparnya, akhirnya diputuskannyalah untuk mengumpulkan semua anak dan menantunya. Keputusan itu diambil karena ia berkeyakinan bahwa kalau saja Tuan Suryo masih hidup niscaya juga melakukan hal itu.
Bagian II dimulai dengan berkumpulnya anak-anak dan menantu Nyonya Suryo yang telah datang dari kotanya masingmasing untuk menyambut kedatangan Bawuk. Kedatangan Bawuk beserta dua orang anaknya sempat membuat keharuan Nyonya Suryo dan saudara-saudara Bawuk: “Wuuuuuk, nggeeerrr”, teriak Nyonya Suryo. Dan dekapnya anaknya serta cucu-cucunya. Dicium pipi anak dan cucucucunya. Air mata berlinang, meleleh pada pipi mereka. Pada Nyonya Suryo, pada Bawuk dan Saudara-saudara perempuan. Anak-anak masih berpegangan tangan berdiri di belakang ibunya. Kemudian ada beberapa detik beranda itu senyap”.
Pada bagian II ini pula, setelah Bawuk selesai berkisah tentang diri, suami dan anak-anaknya, diceritakan bagaimana sikap Bawuk yang sesungguhnya terhadap suami dan terhadap komunis. Lewat dialog yang dilakukan dengan kakak-kakaknya, Bawuk menegaskan sikapnya, sikap seorang Bawuk yang telah dewasa, untuk tetap mencari Hassan (atau lebih tepat menunggu). Ini sekaligus mencerminkan sikap Bawuk yang melawan arus, berbeda dengan pendirian kakak-kakaknya. Dunia yang telah dipilih oleh Bawuk tidak mungkin ditinggalkan. Bagian II ini diakhiri dengan kepergian Bawuk mencari suaminya, Hassan, dengan diiringkan hanya oleh ibunya hingga di jalan.
Bagian III sebagai akhir cerita. Di sini digambarkan kerawanan hati Nyonya Suryo karena membaca koran yang memberitakan bahwa Hassan telah mati, dan nasib Bawuk, Nyonya Suryo tidak kuasa melukiskannya. Sementara itu cucucucunya sedang belajar mengaji, mereka sedang belajar membaca surat Al-Fatihah, dan Nyonya Suryo mendengarnya.
Bawuk telah memilih sikap dan perilaku yang ia yakini. Akibatnya tragis memang, tapi baginya hidup menjadi bermakna, bermakna bagi siapa saja menurut anggapan Bawuk. Sementara itu, keputusannya untuk menitipkan anakanaknya sebagaimana diungkapkan di awal novelet (cerpen panjang) ini, agaknya mengandung makna tersendiri, yang justru menjiwai hampir seluruh cerita. Atau dengan kata lain, ialah makna niatan pengarang: mereka yang kalah boleh pergi dan tidak kembali, tapi generasi berikutnya tidak boleh punah sama sekali.
Umar Kayam agaknya lebih bersimpati pada yang dikalahkan, pada mereka yang kalah, yakni Bawuk; tapi kekalahan demi pemahkotaan hidup itu sendiri. Hidup pada akhirnya menjadi tragis.
Silahkan baca juga : Definisi, Prinsip Kritik Sastra, dan Prinsip Esai Sastra
Contoh Penulisan Esai Dalam Karya Sastra
Bawuk dan Pilihannya
Bagian Sari Tema
Memilih pada akhirnya menjadi tugas utama seorang manusia dalam hidupnya. Sekali manusia telah menjatuhkan pilihannya, pilihan itu mesti dipertahankan dan diperjuangkan apapun risikonya. Dengan demikian, hidup menjadi bermakna, betapapun bentuknya. Walaupun pada akhirnya berakibat tragis, Bawuk sebagai seorang manusia (tokoh) telah melakukan hal tersebut dengan sempurna. Begitulah makna yang tertangkap seusai membaca Bawuk sebuah novelet (cerpen yang panjang) karya Umar Kayam (dalam Ajip Rosidi. 1977. Laut Biru Langit Biru. Jakarta: Pustaka Jaya).
Bagian Fokus (lead-in)
Bawuk adalah anak bungsu dari lima bersaudara keluarga Tuan dan Nyonya Suryo, Onder Karangrandu yang mendambakan semua anaknya menjadi priyayi, suatu kedudukan yang sangat terpandang di masyarakat. Sudah sejak masa kanak-kanak Bawuk mempunyai sikap dan tindakan yang berbeda dengan kakak-kakaknya, walaupun kecerdasan Bawuk tidak boleh kalah dengan kecerdasan kakak-kakaknya. Bawuk mempunyai sikap yang bohemian, manja, periang, pemurah, mempunyai kata-kata yang bijak, dan suka bergaul dengan siapa saja, temasuk dengan Bediende, dengan anak-anak desa.
Sikap dan tindakannya itu kadang-kadang tidak disetujui oleh ayahnya, yang ingin tetap menjaga gengsinya sebagai seorang priyayi. Akan tetapi, dengan caranya yang khas Bawuk selalu berhasil meyakinkan orang tuanya bahwa yang dikerjakannya itu tidak apa-apa. Jika kakak-kakaknya akhirnya berhasil memenuhi harapan orang tuanya menjadi priyayi: Yu Mi menjadi istri seorang Brigjen, Yu Sul mendapat seorang priyayi agung sipil, Mas Mamok dan Mas Tarto berhasil menjadi orangorang yang bertitel akademis, tidak demikian halnya dengan Bawuk.
Ia hanya kawin dengan seorang yang SMA pun tidak tamat, Hassan, seseorang yang memimpikan bahwa tanpa satu ijasah, tanpa suatu kedudukan resmi, orang pun bisa terpandang di masyarakat. Tidak ada seorang pun dari keluarganya yang menghalangi waktu Bawuk memilih Hassan sebagai bakal jodohnya.
Bagian Pembuktian
Pilihan yang telah dilakukan Bawuk membawa akibat yang cukup tragis pada kehidupannya sebab Hassan adalah seorang pemimpin Komunis. Walaupun telah bertahun-tahun Bawuk menjadi istri Hassan, ia tidak pernah secara resmi menjadi angota Gerwani. Akan tetapi, bagaimanapun mereka akhirnya menjadi buronan. Dua orang anaknya, Wowok dan Ninuk, akhirnya dititipkan kepada ibunya, Nyonya Suryo, oleh Bawuk.
Dia sendiri, walaupun tidak dikehendaki oleh kakak-kakaknya bahkan akan diusahakan perlindungannya, tetap mencari Hassan dalam persembunyiannya. Hal itu dilakukan bukan demi mencari Hassan sebagai seorang komunis, melainkan demi Hassan sebagai suaminya. Dia menolak untuk menunggu Hassan di rumah ibunya, walaupun pada akhirnya Hassan mati terbunuh.
Bagian Bentuk
Sesungguhnya, makna yang termuat dalam novelet ini menjadi sangat menonjol karena struktur alurnya, di samping karena faktor lain seperti penokohan. Novelet ini dibagi menjadi tiga bagian yang ditandai dengan angka Romawi I, II dan III.
Bagian I sebagai awal novelet, dimulai dengan peristiwa keterkejutan Nyonya Suryo menerima surat dari Bawuk. Keterkejutan itu disebabkan oleh pendeknya surat, yang hanya terdiri dari tiga kalimat pendek-pendek dan sederhana susunanya: “Akan datang Sabtu malam ini. Wowok dan Ninuk saya bawa. Sudilah Ibu selanjutnya menjaga mereka. Bawuk”. Hal itu sangat berlainan dengan kebiasaan Bawuk berkirim surat, yang biasanya suka berpanjang-panjang.
Peristiwa itu membuat Nyonya Suryo terseret dalam suatu lamunan yang sangat panjang masuk ke dalam masa lampau. Nyonya Suryo teringat masa mudanya, sewaktu anak-anaknya masih kecil, sekolah dengan naik dokar dari Karangrandu ke M. Teringat pula ia bagaimana perilaku Bawuk kecil, bagaimana perangai suaminya yang senantiasa jaga gengsi, suaminya bertayuban di pendopo kabupaten, bagaimana perhatian Bawuk kepadanya tatkala ia merasa pusing kepala, dst. dst. Akhirnya Nyonya Suryo tersadar: “Nyonya Suryo melipat-lipat surat bawuk yang pendek itu. Kenapakah pada senja itu, pada waktu dia mencoba mengenang anaknya yang bungsu itu justru masa kanak-kanaknya yang paling jelas terkenang?”.
Kesadarannya kembali itu menjadikan Nyonya Suryo mengambil keputusan untuk mengumpulkan anak-anak dan menantunya guna menyambut kedatangan Bawuk dan dua orang anaknya. Walaupun pada mulanya ia bimbang karena kekurangmesraan hubungan Hassan dengan kakak-kakak iparnya, akhirnya diputuskannyalah untuk mengumpulkan semua anak dan menantunya. Keputusan itu diambil karena ia berkeyakinan bahwa kalau saja Tuan Suryo masih hidup niscaya juga melakukan hal itu.
Bagian II dimulai dengan berkumpulnya anak-anak dan menantu Nyonya Suryo yang telah datang dari kotanya masingmasing untuk menyambut kedatangan Bawuk. Kedatangan Bawuk beserta dua orang anaknya sempat membuat keharuan Nyonya Suryo dan saudara-saudara Bawuk: “Wuuuuuk, nggeeerrr”, teriak Nyonya Suryo. Dan dekapnya anaknya serta cucu-cucunya. Dicium pipi anak dan cucucucunya. Air mata berlinang, meleleh pada pipi mereka. Pada Nyonya Suryo, pada Bawuk dan Saudara-saudara perempuan. Anak-anak masih berpegangan tangan berdiri di belakang ibunya. Kemudian ada beberapa detik beranda itu senyap”.
Pada bagian II ini pula, setelah Bawuk selesai berkisah tentang diri, suami dan anak-anaknya, diceritakan bagaimana sikap Bawuk yang sesungguhnya terhadap suami dan terhadap komunis. Lewat dialog yang dilakukan dengan kakak-kakaknya, Bawuk menegaskan sikapnya, sikap seorang Bawuk yang telah dewasa, untuk tetap mencari Hassan (atau lebih tepat menunggu). Ini sekaligus mencerminkan sikap Bawuk yang melawan arus, berbeda dengan pendirian kakak-kakaknya. Dunia yang telah dipilih oleh Bawuk tidak mungkin ditinggalkan. Bagian II ini diakhiri dengan kepergian Bawuk mencari suaminya, Hassan, dengan diiringkan hanya oleh ibunya hingga di jalan.
Bagian III sebagai akhir cerita. Di sini digambarkan kerawanan hati Nyonya Suryo karena membaca koran yang memberitakan bahwa Hassan telah mati, dan nasib Bawuk, Nyonya Suryo tidak kuasa melukiskannya. Sementara itu cucucucunya sedang belajar mengaji, mereka sedang belajar membaca surat Al-Fatihah, dan Nyonya Suryo mendengarnya.
Bagian kesimpulan
Bawuk telah memilih sikap dan perilaku yang ia yakini. Akibatnya tragis memang, tapi baginya hidup menjadi bermakna, bermakna bagi siapa saja menurut anggapan Bawuk. Sementara itu, keputusannya untuk menitipkan anakanaknya sebagaimana diungkapkan di awal novelet (cerpen panjang) ini, agaknya mengandung makna tersendiri, yang justru menjiwai hampir seluruh cerita. Atau dengan kata lain, ialah makna niatan pengarang: mereka yang kalah boleh pergi dan tidak kembali, tapi generasi berikutnya tidak boleh punah sama sekali.
Umar Kayam agaknya lebih bersimpati pada yang dikalahkan, pada mereka yang kalah, yakni Bawuk; tapi kekalahan demi pemahkotaan hidup itu sendiri. Hidup pada akhirnya menjadi tragis.
Silahkan baca juga : Definisi, Prinsip Kritik Sastra, dan Prinsip Esai Sastra
Comments
Post a Comment